Xi Jinping Ke Vietnam, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merespon perjalanan Pemimpin China Xi Jinping ke beberapa negara ASEAN, yakni Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Menurut Trump, perjalanan Xi ke Vietnam bertujuan untuk ‘mengacaukan’ AS.
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah melontarkan pernyataan keras terhadap Presiden China, Xi Jinping. Dalam pidato terbarunya, Trump menuding Xi tengah menggunakan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja sebagai alat untuk menghancurkan perekonomian dan dominasi Amerika Serikat.
Pernyataan ini tidak hanya memancing kontroversi, tetapi juga memunculkan kembali isu strategis tentang bagaimana pengaruh China meluas lewat jalur perdagangan dan diplomasi regional. Apa yang sebenarnya dimaksud Trump? Dan seberapa valid kekhawatiran ini?
Xi Jinping Ke Vietnam Trump: “China Tak Lagi Bermain Sendiri”
Dalam kampanye politiknya, Trump menyebut bahwa strategi Xi Jinping saat ini bukan lagi konfrontatif secara langsung, tapi justru memanfaatkan negara ketiga untuk menutupi jejaknya dalam perang dagang dan dominasi pasar global.
“Xi terlalu pintar untuk berhadapan langsung. Sekarang dia menggunakan Vietnam, Malaysia, dan Kamboja untuk melewati tarif kita, mencuri teknologi kita, dan menyabotase pekerjaan kita,” kata Trump dengan nada penuh emosi.
Pernyataan ini mengacu pada fenomena “transshipment” — praktik di mana produk China dikirim ke negara ketiga terlebih dahulu sebelum masuk ke pasar Amerika untuk menghindari tarif tinggi.
Xi Jinping Ke Vietnam Asia Tenggara: Koridor Baru Pengaruh China
Vietnam, Malaysia, dan Kamboja memang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi dari meningkatnya investasi asing, termasuk dari China. Negara-negara ini menjadi pusat baru manufaktur, logistik, dan perakitan barang-barang teknologi tinggi.
Namun dalam narasi Trump, pertumbuhan ini bukan semata-mata hasil pasar bebas, tetapi strategi halus dari Beijing untuk melemahkan posisi Amerika secara global.
“Kita berpikir mereka sekutu kita, tapi kenyataannya, mereka sudah jadi bagian dari permainan Xi. Ini bukan perdagangan. Ini invasi ekonomi,” tambah Trump.
Bagaimana Reaksi Negara-Negara yang Disebut?
Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Vietnam, Malaysia, maupun Kamboja terkait pernyataan Trump. Namun para analis menilai bahwa komentar tersebut bisa mengganggu hubungan bilateral antara AS dan negara-negara di Asia Tenggara yang selama ini dikenal cukup bersahabat dengan Washington.
Vietnam, misalnya, baru saja meningkatkan hubungan menjadi “kemitraan strategis komprehensif” dengan AS. Malaysia dan Kamboja pun menjadi lokasi penting bagi rantai pasok global yang disponsori oleh investor barat dan Asia.
Geopolitik, Perdagangan, dan Propaganda Pemilu
Trump dikenal sering menggunakan retorika agresif terhadap China dalam kampanyenya, terutama sejak 2016. Strategi “America First”-nya berfokus pada proteksi industri dalam negeri dan pengurangan ketergantungan pada negara-negara Asia.
Namun kini Trump mengembangkan narasinya: bukan hanya China musuh utama, tapi juga sekutu regional China.
Menurut pengamat dari CSIS (Center for Strategic and International Studies), Trump sedang mencoba menggiring opini publik bahwa siapa pun yang “bersekutu” secara ekonomi dengan China, otomatis menjadi ancaman bagi AS.
Xi Jinping Ke Vietnam Narasi Proxy War Ekonomi: Benarkah China Sedang “Membonceng” Asia Tenggara?
Ada sebagian kebenaran dalam tudingan Trump. China memang banyak berinvestasi di kawasan Asia Tenggara, baik melalui inisiatif Belt and Road maupun penanaman modal langsung. Banyak perusahaan asal China juga relokasi ke Vietnam dan Malaysia untuk menghindari tarif AS.
Namun, menyebut negara-negara tersebut sebagai “alat penghancur” AS bisa dianggap berlebihan. Terutama karena banyak dari mereka juga berusaha menjaga keseimbangan hubungan antara China dan AS.
Kesimpulan
Pernyataan Trump menambah panas panggung politik internasional, sekaligus memberikan gambaran betapa rumitnya hubungan ekonomi global saat ini. Di satu sisi, China memang memperluas pengaruhnya. Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja tidak serta-merta bisa dicap sebagai “kaki tangan Beijing”.